Selamat Datang di Blognya Arek Gresik...! Ilmu Yang Berguna Adalah Bisa Berbagi Walaupun Kita Tahunya Cuma Sedikit....

Selasa, 14 Desember 2010

Perkembangan Hubungan Sosial

A.   PENGERTIAN HUBUNGAN SOSIAL
Hubungan sosial individu berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Dalam perkembangannya, setiap individu ingin tahu bagaimanakah cara melakukan hubungan secara baik dan aman dengan dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Hubungan sosial diartikan sebagai "cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya" (Anna Alisyahbana, dkk., 1984). Hubungan sosial ini menyangkut juga penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, berpakaian sendiri, menaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.
Hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang lebih luas lagi ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun demikian, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, dilanjutkan dengan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman di sekolah sangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh yang penuh unjuk kuasa dalam keluarga. Penyebab kesulitan hubungan sosial sebagai akibat dari pola asuh orang tua yang penuh dengan unjuk kuasa ini adalah timbul dan berkembangnya rasa takut yang berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif, tidak berani mengambil keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang dianggap sesuai.
Situasi kehidupan dalam keluarga berupa pola asuh orang tua, pada umumnya masih dapat diperbaiki oleh orang tua itu sendiri, tetapi situasi pergaulan dengan teman-teman sebayanya cenderung sulit diperbaiki (Sunarto, 1998). Kemungkinan anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga seperti ini akan kesulitan beradaptasi dengan situasi yang dianggap akan menimbulkan konflik pada dirinya. Ada dua kemungkinan kompensasi negatif yang dapat muncul pada anak ketika mengolah konfliknya itu, yaitu rasa rendah diri yang akan tetap melekat pada dirinya atau anak berbuat berlebih-lebihan. Dengan demikian, tampak bahwa keluarga merupakan peletak dasar hubungan sosial anak, dan yang terpenting adalah pola asuh orang tua terhadap anak.


B.   PENGARUH HUBUNGAN SOSIAL TERHADAP TINQKAH LAKU
Hubungan sosial individu dimulai sejak individu berada di lingkungan rumah bersama keluarganya. Segara setelah lahir hubungan bayi dengan orang di sekitarnya, terutama ibu, memiliki arti yang sangat penting (Boweby, 1987: 25). Kehangatan dapat dirasakan dalam hubungan ini. Pengalaman hubungan sosial yang amat mendalam adalah melalui sentuhan ibu kepada bayinya, terutama saat menyusui. Pada bulan kedua, bayi mulai mengenal wajah orang di sekitarnya dan mulai bisa tersenyum sebagai suatu cara menyalurkan perasaan senangnya. Perasaan senang akan hubungan itu menandakan kebutuhan yang mendalam untuk berada di antara orang-orang yang mengasihinya. Gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak yang selama hidupnya berada di rumah titipan atau yatim piatu, merupakan contoh akibat kurangnya kebutuhan akan kasih sayang dan sentuhan lembut seorang ibu. Pada mereka tidak ada kesempatan untuk menikmati kasih sayang ayah atau ibunya.
Sekitar bulan keenam, bayi mulai mengenal orang-orang di sekitarnya dan membedakan dengan orang-orang yang asing baginya. la segera tertawa apabila dipangku oleh orang-orang yang dikenalnya dan merasa takut kepada orang-orang yang dianggap asing baginya dan bereaksi dengan menangis. Perasaan ini penting artinya karena dengan cara ini bayi dapat membedakan antara orang-orang yang dirasakan memiliki hubungan mendalam dengan dirinya dan orang lain yang dirasakan hubungannya hanya bersifat sementara saja.
Setelah berumur tujuh bulan, bayi mulai aktif mengadakan kontak dengan orang lain, yaitu dengan menunjukkan kemampuan sederhana, misalnya mengangkat tangannya untuk minta digendong atau berteriak-teriak menangis minta perhatian. Pada saat ini juga, anak mulai memperhatikan apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Pada bulan kesepuluh, bayi mulai bisa bicara dengan ibunya dengan bahasa yang sangat sederhana, lucu, dan menyenangkan meskipun belum jelas benar. Pada akhir tahun pertama, kontak antara orang tua dan bayi sudah cukup jauh sehingga sudah dapat diajak bermain.
Perkembangan sosial anak semakin berkembang ketika anak mulai memasuki masa prasekolah, kira-kira umur 18 bulan. Pada umur ini dimulai dengan tumbuhnya kesadaran diri atau yang dikenal dengan kesadaran akan dirinya dan kepemilikannya. Pada umur ini, keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan semakin besar sehingga tidak jarang menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kedisiplinan. Anak mulai dihadapkan dengan orang-orang yang menyetujui dan menghalangi keinginannya. Pada masa ini sampai akhir masa sekolah ditandai dengan meluasnya lingkungan sosial. Selain dengan anggota keluarganya, pada masa ini anak mulai mendekatkan diri kepada orang-orang lain di lingkungannya. Meluasnya lingkungan sosial anak menyebabkan anak memperoleh pengaruh di luar pengawasan orang tuanya. Anak semakin luas bergaul dengan teman-temannya serta berhubungan dengan guru-guru yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap proses emansipasi anak. Hubungan sosial pada masa ini anak melakukan proses emansipasi dan sekaligus individuasi. Dalam proses ini, teman-teman sebaya mempunyai peranan yang sangat besar.
Dalam konteks ini, Jean Piaget (Monks, dkk., 1991) mengatakan bahwa permulaan kerja sama dan konformisme sosial semakin bertambah pada saat anak mencapai usia 7 sampai 10 tahun dan mencapai puncak kurva pada saat anak berada di antara umur 9 sampai 15 tahun. Ini dapat diartikan bahwa konformisme semakin bertambah dengan bertambahnya usia sampai permulaan remaja dan setelah itu mengalami penurunan kembali. Penurunan ini disebabkan pada masa remaja sudah semakin berkembang keinginan mencari dan menemukan jati dirinya sehingga konformisme semakin berbenturan dengan upaya mencapai kemandirian atau individuasi.
  
C.   PERKEMBANGAN INTERAKSI SOSIAL REMAJA
Thibaut dan Kelley (1979), yang merupakan pakar dalam teori interaksi, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling memengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi, dalam setiap kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk memengaruhi individu lain. Sebagai contoh, A bertemu dengan B di jalan, kemudian ia menghentikan B dan mengajaknya ngobml tentang cuaca, mendengarkan kesulitan-kesulitan yang dialaminya, dan kemudian mereka bertukar pendapat dengan caranya masing-masing. Chaplin (1979) juga men­definisikan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara beberapa individu yang bersifat alami yang individu-individu itu saling memengaruhi satu sama lain secara serempak.
Adapun Romans (Shaw, 1985:71) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas atau sentimen yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) dengan menggunakan suatu aktivitas atau sentimen oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Jadi, konsep yang dikemukakan oleh Homans (1974: 35) mengandung pengertian bahwa suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya. Sedangkan Shaw (1976: 447) mendefinisikan bahwa interaksi adalah suatu pertukaran antar pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku memengaruhi satu sama lain.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi mengandung pengertian hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekadar terjadi hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi saling memengaruhi.



D.   JENIS-JENIS INTERAKSI
Dalam setiap interaksi senantiasa di dalamnya mengimplikasikan adanya komunikasi antar pribadi. Demikian pula sebaliknya, setiap komunikasi antar pribadi senantiasa mengandung interaksi. Sulit untuk memisahkan antara keduanya. Atas dasar itu, Shaw (1976: 10) membedakan interaksi menjadi tiga jenis, yaitu interaksi verbal, interaksi fisik, dan interaksi emosional.
Interaksi verbal terjadi apabila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi. Prosesnya terjadi dalam bentuk saling tukar percakapan satu sama lain. Interaksi fisik terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya, ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerik tubuh, dan kontak mata. Interaksi emosional terjadi manakala individu melakukan kontak satu sama lain dengan melakukan curahan perasaan. Misalnya, mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru, atau bahkan terlalu bahagia.
Selain tiga jenis interaksi di atas, Nichols (1984: 27-28) membedakan jenis-jenis interaksi berdasarkan. banyaknya individu yang terlibat dalam proses tersebut serta pola interaksi yang terjadi. Atas dasar itu, ada dua jenis interaksi, yaitu interaksi dyadic dan interaksi tryadic.
Interaksi dyadic terjadi manakala hanya ada dua orang yang terlibat di dalamnya atau lebih dari dua orang tetapi arah interaksinya hanya terjadi dua arah. Contoh: interaksi antara percakapan dua orang lewat telepon; interaksi antara guru-murid dalam kelas jika guru menggunakan metode ceramah atau tanya jawab satu arah tanpa menciptakan dialog antar murid.
Interaksi tryadic ini terjadi manakala individu yang terlibat di dalamnya lebih dari dua orang dan pola interaksi menyebar ke semua individu yang terlibat. Misalnya, interaksi antara ayah, ibu, dan anak. Interaksinya terjadi pada mereka semuanya.
  
E.   POLA INTERAKSI REMAJA-ORANG TUA
Sesuai dengan tahap perkembangannya, interaksi remaja dengan orang tua memiliki kekhasan tersendiri. Jersild, Brook, dan Brook (1998) mengatakan bahwa interaksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama).
Drama tindakan pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang terjadi pada interaksi antara masa anak-anak dengan orang tua. Mereka memiliki ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua. Namun, remaja sudah mulai semakin menyadari keberadaan dirinya sebagai pribadi daripada masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua (the second act drama), disebut dengan istilah "perjuangan untuk emansipasi" (Jersild, Brook, dan Brook, 1998). Pada masa ini. remaja juga memiliki perjuangan yang kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak untuk mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tua, remaja mulai berusaha meninggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan semakin bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Akibatnya, mereka sering kali mengalami pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua.
Drama tindakan ketiga (the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancar dengan mereka. Namun, usaha remaja ini sering kali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orang tua yang sebenarnya masih belum bisa melepas anak remajanya secara penuh. Akibatnya, remaja sering kali menentang gagasan-gagasan dan sikap orang tuanya (Jersild, Brook, dan Brook, 1998).
Dalam konteks interaksi remaja-orang tua, Fontana (1981: 26) menambahkan adanya aspek objektif dan subjektif dalam interaksi antara remaja dan orang tua. Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada saat interaksi antara remaja dan orang tua berlangsung. Sedangkan aspek subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. Fontana (1981: 27) mengatakan bahwa tidak jarang terjadi remaja cenderung menggunakan aspek subjektif ketika berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya, orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja sebagai memarahinya. Padahal, sesungguhnya orang tua bermaksud melindunginya. Atas dasar aspek subjektif yang sering digunakan oleh remaja dalam berinteraksi dengan orang tuanya, sebagaimana dikatakan oleh Fontana maka pemahaman terhadap interaksi remaja perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaja tentang interaksinya dengan orang lain, dan bukan semata-mata interaksi nyata (real interaction).
Interaksi yang terjadi antarindividu dalam lingkungan keluarga akan tampil dalam kualitas yang berbeda-beda. Kualitas mengacu kepada derajat relatif kebaikan atau keunggulan suatu hal (Chaplin, 1979: 436), dalam hal ini adalah interaksi antarindividu. Suatu interaksi dikatakan berkualitas jika mampu memberikan kesempatan kepada individu untuk mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang dimilikinya.
Jadi, yang dimaksud dengan interaksi remaja-orang tua adalah hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya yang terwujud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengembangkan potensi dirinya.

F.    PERSEPSI TENTANG INTERAKSI REMAJA-ORANG TUA
Dalam tulisan ini lebih memilih istilah interaksi karena hubungan atau relasi antara remaja dengan orang tua berlangsung secara timbal balik dan kedua belah ; pihak aktif. Interaksi yang dimaksud di sini menyangkut apa yang dipersepsi dan dihayati oleh remaja secara subjektif (Fontana, 1981: 26). Karena antara remaja dan orang tuanya sama-sama aktif dan saling memengaruhi maka dalam kajian ini menggunakan istilah interaksi, bukan relasi, perlakuan, atau kepemimpinan orang tua.
Berkaitan dengan kualitas interaksi remaja-orang tua, Fontana (1981: 31) mengemukakan konsep yang meliputi sejumlah aspek dan masing-masing aspek mengandung sejumlah indikator, yaitu sebagai berikut.
1.      Persepsi remaja mengenai partisipasi dan keterlibatan dirinya dalam keluarga. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut.
a.       Persepsi remaja mengenai sikap saling menghargai di antara para anggota
keluarga.
b.      Persepsi remaja mengenai keterlibatan dirinya dalam membicarakan dan
memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.
2.      Persepsi remaja mengenai keterbukaan sikap orang tua. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut.
a.     Persepsi remaja mengenai toleransi orang tua terhadap perbedaan pendapat.
b.    Persepsi remaja mengenai kemampuan orang tua untuk memberikan alasan yang masuk akal terhadap suatu perbuatan atau keputusan yang diambil.
c.     Persepsi remaja mengenai keterbukaan orang tua terhadap minat yang
luas.
d.   Persepsi remaja mengenai upaya orang tua untuk mengembangkan komitmen terhadap tugas.
e.    Persepsi remaja mengenai kehadiran orang tua di rumah dan keakraban hubungan antara orang tua dengan remaja.
3.      Persepsi remaja mengenai kebebasan dirinya untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut.
a.       Persepsi mengenai dorongan orang tua untuk mengembangkan rasa ingin
tahu yang lebih besar.
b.      Persepsi remaja mengenai perasaan aman dan bebas yang diberikan oleh
orang tua untuk mengadakan eksplorasi dalam rangka mengungkapkan
pikiran dan perasaannya.
c.       Persepsi remaja bahwa dalam keluarga terdapat aturan yangharusditaati,
tetapi tidak cenderung mengancam.

Interaksi remaja dengan orang tua memiliki pola yang khas dan unik sehingga oleh Jersild, Brook, dan Brook diberi istilah three act drama (drama tiga tindakan). First act drama, interaksi remaja masih memiliki ketergantungan dengan orang tua, tetapi sudah mulai menyadari keberadaan dirinya sebagai pribadi dibandingkan fase sebelumnya. Second act drama, disebut juga dengan istilah "perjuangan untuk emansipasi" yaitu remaja melakukan perjuangan kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan terhadap orang tua. Third act drama, remaja berusaha menempatkan dirinya untuk berteman dengan orang dan berinteraksi secara lancar dengan mereka. Namun, masih sering mengalami hambatan karena orang tua sering kali masih belum melepaskan anak remajanya secara penuh. Demikian juga, orang dewasa sering kali belum menerima secara penuh remaja untuk masuk ke dalam dunianya. Dalam interaksi remaja-orang tua ada aspek objektif dan subjektif. Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada saat interaksi, sedangkan aspek subjektif adalah persepsi remaja terhadap peristiwa dalam interaksi tersebut. Fontana mengatakan bahwa tidak jarang remaja lebih menggunakan aspek subjektif dalam berinteraksi dengan orang tua. Misalnya, orang tua yang sebenarnya ingin melindungi karena sayang kepada anaknya, justru dipersepsi sebagai terlalu mengekang dan membatasi remaja.
  
G.   KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN SOSIAL REMAJA
Ada sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan sosial remaja, yaitu sebagai berikut.
1.      Berkembangnya Kesadaran akan Kesunyian dan Dorongan akan Pergaulan
Masa remaja bisa disebut sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja hubungan sosial semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusaha mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran akan kesunyian yang mendalam dari remaja merupakan dorongan pergaulan untuk menemukan pernyataan diri akan kemampuan kemandiriannya. Langeveld (Simanjuntak dan Pasaribu, 1984: 152) berpendapat bahwa kemiskinan akan hubungan atau perasaan kesunyian remaja disertai kesadaran sosial psikologis yang mendalam yang kemudian menimbulkan dorongan yang kuat akan pentingnya pergaulan untuk menemukan suatu bentuk sendiri.
2.      Adanya Upaya Memilih Nilai-Nilai Sosial
Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksi terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma-norma tertentu pula. Bagi remaja yang idealis dan memiliki kepercayaan penuh akan cita-citanya, menuntut norma-norma sosial yang mutlak meskipun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal. Sebaliknya, bagi remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan cenderung menyerah atau bahkan apatis. Namun, ada kemungkinan seseorang tidak akan menuntut norma-norma sosial yang demikian mutlak, tetapi tidak pula menolak seluruhnya.
3.      Meningkatnya Ketertarikan pada Lawan Jenis
Remaja sangat sadar akan dirinya tentang bagaimana pandangan lawan jenis mengenai dirinya. Dalam konteks ini, Kublen (Simanjuntakdan Pasaribu, 1984: 153) bahkan menegaskan bahwa: the social interest of adolescent are essentially sex social interest. Oleh sebab itu, masa remaja sering kali disebut juga sebagai masa biseksual. Meskipun kesadaran akan lawan jenis ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembang secara dominan bukanlah kesadaran jasmani yang berlainan, melainkan tumbuhnya ketertarikan terhadap jenis kelamin yang lain. Hubungan sosial yang tidak terlalu menghiraukan perbedaan jenis kelamin pada masa-masa sebelumnya, kini beralih ke arah hubungan sosial yang dihiasi perhatian terhadap perbedaan jenis kelamin. Ada yang mengistilahkan bahwa dunia remaja telah menjadi dunia erotis (Sunarto, 1998). Keinginan membangun hubungan sosial dengan jenis kelamin lain dapat dipandang sebagai suatu yang berpangkal pada kesadaran akan kesunyian.
4.      Mulai Cenderungan Memilih Karier Tertentu
Karakteristik berikutnya sebagaimana dikatakan oleh Kuhlen bahwa ketika sudah memasuki masa remaja akhir, mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karier tertentu meskipun dalam pemilihan karier tersebut masih mengalami kesulitan (Simanjuntak dan Pasaribu, 1984). Ini wajar karena pada orang dewasa pun kerap kali masih terjadi perubahan orientasi karier dan kembali berusaha menyesuaikan diri dengan karier barunya.

Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan hubungan sosial remaja antara lain, sebagai berikut.
1.        Berkembangnya kesadaran akan kesunyian dan dorongan pergaulan. Ini sering kali menyebabkan remaja memiliki solidaritas yang amat tinggi dan kuat dengan kelompok sebayanya, jauh melebihi dengan kelompok lain; bahkan dengan orang tuanya sekalipun. Untuk itu, remaja perlu diberikan perhatian intensif dengan cara melakukan interaksi dan komunikasi secara terbuka dan hangat kepada mereka.
2.        Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial. Ini menyebabkan remaja senantiasa mencari nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan. Dengan demikian, jika tidak menemukannya cenderung menciptakan nilai-nilai khas kelompok mereka sendiri. Untuk itu, orang dewasa dan orang tua harus menunjukkan konsistensi dalam memegang dan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupannya.
3.        Meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis, menyebabkan remaja pada umumnya berusaha keras memiliki teman dekat dari lawan jenisnya atau pacaran. Untuk itu, remaja perlu diajak berkomunikasi secara rileks dan terbuka untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan lawan jenis.
4.        Mulai tampak kecenderungannya untuk memilih karier tertentu, meskipun sebenarnya perkembangan karier remaja masih berada pada taraf pencarian karier. Untuk itu, remaja perlu diberikan wawasan karier disertai dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing jenis karier tersebut.

H.  FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERKEMBAMGAN HUBUNGAN SOSIAL
Proses sosialisasi individu terjadi di tiga lingkungan utama, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Proses sosialisasi ini turut memengaruhi perkembangan sosial dan gaya hidupnya di hari-hari mendatang. Dalam lingkungan sekolah, anak belajar membina hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai keluarga dengan status dan warna sosial yang berbeda. Dalam lingkungan masyarakat, anak dihadapkan dengan berbagai situasi dan masalah kemasyarakatan.
Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya.
Berikut ini didiskusikan pengaruh lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat terhadap perkembangan sosial.
1.       Lingkungan Keluarga
Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan mental. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan, dan sarana lain yang diperlukan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara mental berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya.
Manusia normal, baik anak maupun orang dewasa, senantiasa membutuhkan penghargaan atau dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu, mempermalukan anak di depan orang banyak merupakan pukulan jiwa yang sangat berat dan dapat berakibat buruk bagi perkembangan sosial anak. Dalam aspek psikologis, anak dapat terhambat atau bahkan tertekan, misalnya saja kemampuan dan kreativitasnya sehingga mengakibatkan anak menjadi banyak berdiam diri. Sikap seperti ini muncul karena merasa bahwa sesuatu yang akan dikemukakannya tidak akan mungkin mendapat sambutan atau bahkan akan dipermalukan. Sebaliknya, memberikan pujian kepada anak secara tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat menimbulkan perasaan disayang pada diri anak yang dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua. Menyatakan kasih sayang kepada anak sampai anak menyadari bahwa dirinya disayang oleh orang tuanya adalah sesuatu yang sangat penting. Anak harus mengetahui bahwa dirinya memang disayangi oleh orang tuanya. Seorang anak yang merasa dirinya disayangi akan memiliki kemudahan untuk dapat menyayangi orang tua dan keluarganya, sehingga akan merasakan bahwa dirinya dibutuhkan dalam keluarga. Dalam situasi demikian, anak akan merasa aman, dihargai, dan disayangi. Anak tidak merasa takut untuk menyatakan dirinya, pendapatnya, maupun mendiskusikan kesulitan yang dihadapinya karena merasa bahwa orang tua atau keluarganya ibarat sumber kekuatan yang selalu membantunya di mana pun dan kapan pun dirinya memerlukannya.
Dengan kata lain, yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam perkembangan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan iklim kehidupan keluarga itu? Jay Kesler (1978:47) mendefinisikan iklim kehidupan keluarga sebagai: The set internal characteristics that distinguishes one family from another and influences the behavior of people in it is called family climate ... Climate is determined importantly by conduct, attitudes, and expectations of other persons.
Jadi, iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga unsur.
a.       Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya.
b.      Karakteristik khas itu dapat memengaruhi perilaku individu dalam keluarga
itu (termasuk remajanya).
c.       Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala keluarga, sikap, dan harapan individu dalam keluarga tersebut.

Karena remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang disebut keluarga. salah satu aspek penting yang dapat memengaruhi perilaku remaja adalah interaksi antaranggota keluarga. Harmonis tidaknya, intensif tidaknya interaksi antaranggota keluarga akan memengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada di dalam keluarga. Gardner (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja.
Wajar, jika iklim kehidupan keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan hubungan sosial remaja karena sebagian besar kehidupannya ada di dalam keluarga. Situasi interaksi antaranggota keluarga, perlakuan anggota keluarga terhadap remajanya, dan juga acara-acara TV dalam keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap kondisi psikis remaja. Apalagi, perkembangan teknologi informasi melalui berbagai saluran TV yang setiap waktu dapat dinikmati remaja menghidangkan acara-acara yang bervariasi. Lebih-lebih jika ditambah dengan antena parabola berarti remaja dalam keluarga dapat menyaksikan sedikitnya 14 saluran dalam dan luar negeri. Jika demikian keadaannya, praktis remaja dapat menyaksikan acara TV selama24jam terus menerus jika tidak ada pengendalian dari orang tua atau pengendalian diri sendiri. M. Amien Rais (1993) pernah mengatakan bahwa di antara negara-negara berkembang, Indonesia merupakan pemegang rekor pemilikan antena parabola dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Cina, Iran, Irak, dan Mesir. Belum lagi diramaikan oleh menjamurnya kaset VCD, baik yang berisi tayangan yang positif maupun negatif.
Pemimpin redaksi News and World Report dalam laporannya menyatakan secara tegas bahwa TV dalam keluarga merupakan variabel yang sangat kuat pengaruhnya terhadap perkembangan hubungan sosial remaja; termasuk timbulnya perilaku nakal. Sebab, di Amerika para remaja pada usia 18 tahun telah menyaksikan 200.000 adegan kekerasan di layar TV. Dalam Television and Growing Up: The Impact of Television Violence dikatakan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara ekspos tindak kekerasan dengan perilaku agresif remaja. Dalam The Moral Life of Children juga ditegaskan bahwa selain acara-acara kekerasan di TV, situasi keluarga merupakan faktor utama yang menyebabkan perilaku nakal remaja. Mengapa demikian? Albert Bandura dalam The Social Learning Theory menjelaskan bahwa suatu rangsangan itu dipersepsi oleh individu kemudian diberi makna berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki. Jika sesuai, rangsangan itu dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu. Oleh sebab itu, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk berperilaku. Teori Bandura ini berlaku juga bagi persepsi remaja terhadap kehidupan dalam keluarganya yang kemudian memengaruhi perkembangan hubungan sosialnya. Karena remaja juga tengah berada pada fase krisis identitas atau ketidak tentuan, mereka amat memerlukan teladan tentang norma-norma yang maupan untuk diidentifikasi. Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua sebagai pelopor norma.
Dengan demikian, faktor keteladanan dari sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi variasi perkembangan sosial remaja pada keluarga yang bersangkutan. Hubungan sosial remaja sering kali menjadi runyam manakala orang tua dan orang dewasa mulai mendua dan mulai menyuguhkan ukuran ganda. Misalnya, di satu sisi kesalihan dianjurkan, tetapi di belakang layar orang tua dan orang dewasa melanggarnya. Jika demikian kondisinya, lantas remaja tampak sebagai cermin buram yang menjengkelkan. Setiap kali dibanting justru karena ia menunjukkan wajah dunia dewasa yang mulai peot dan bopengan. Masalah remaja lantas memperoleh dramatisasi justru karena orang tua sendiri cemas melihat dunianya sendiri digerogoti kemerosotan. Oleh sebab itu, kata Jay Kesler (1978) remaja sangat memerlukan keteladanan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Pentingnya faktor keteladanan dikuatkan oleh Fawzia Aswin Hadis (1991) dan Soetjipto Wirosardjono (1991) bahwa orang tua harus dapat menjadi panutan dan jangan menerapkan orientasi (parent-oriented) orang tua serba benar, memiliki privilege, dan menekankan otoritas.
2.       Lingkungan Sekolah
Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosialnya dalam proses sosialisasinya dan sekaligus merupakan faktor lingkungan baru yang sangat menantang atau bahkan mencemaskan dirinya. Para guru dan teman-teman sekelas membentuk suatu sistem yang kemudian menjadi semacam lingkungan norma bagi dirinya. Selama tidak ada pertentangan, selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat dari lainnya, anak akan menyesuaikan dirinya dengan kelompok di mana dirinya dapat diterima dengan baik.
Ada empat tahap proses penyesuaian diri yang harus dilalui oleh anak selama membangun hubungan sosialnya, yaitu sebagai berikut.
a.       Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain serta menghargai dan menghormati hak orang lain,
b.      Anak dididik untuk menaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok.
c.       Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi sosial berdasarkan asas saling memberi dan menerima.
d.      Anak dituntut untuk memahami orang lain.
Keempat tahap proses penyesuaian diri berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang semakin kompleks dan semakin menuntut penguasaan sistem respons yang kompleks pula. Selama proses penyesuaian diri, sangat mungkin terjadi anak menghadapi konflik yang dapat berakibat pada terhambatnya perkembangan sosial mereka.
Sebagaimana dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah juga dituntut menciptakan iklim kehidupan sekolah yang kondusif bagi perkembangan sosial remaja. Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam kesehariannya. Sebagaimana keluarga, sekolah juga memiliki potensi memudahkan atau menghambat perkembangan hubungan sosial remaja. Diartikan sebagai fasilitator, iklim kehidupan lingkungan sekolah yang kurang positif dapat menciptakan hambatan bagi perkembangan hubungan sosial remaja. Sebaliknya, sekolah yang iklim kehidupannya bagus dapat memperlancar atau bahkan memacu perkembangan hubungan sosial remaja.
Kondusif tidaknya iklim kehidupan sekolah bagi perkembangan hubungan sosial remaja tersimpul dalam interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, etos keahlian atau kualitas guru yang ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga dapat menjadi model bagi siswa yang tumbuh remaja. Hadir atau tidaknya faktor-faktor tersebut secara favourable dapat memengaruhi perkembangan hubungan sosial remaja, meskipun disadari pula bahwa sekolah bukanlah satu-satunya faktor penentu (Barrow & Woods, 1982).
3.      Lingkungan Masyarakat
Salah satu masalah yang dialami oleh remaja dalam proses sosialisasinya adalah bahwa tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Di satu sisi remaja dianggap sudah beranjak dewasa, tetapi kenyataannya di sisi lain mereka tidak diberikan kesempatan atau peran penuh Sebagaimana orang yang sudah dewasa. Untuk masalah-masalah yang dipandang penting dan menentukan, remaja masih sering dianggap anak kecil atau paling tidak dianggap belum mampu sehingga sering menimbulkan kekecewaan atau kejengkelan pada remaja. Keadaan semacam ini sering kali menjadi penghambat perkembangan sosial remaja.
Sebagaimana dalam lingkungan keluarga dan sekolah maka iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga sangat diharapkan kemunculannya bagi perkembangan hubungan sosial remaja. Remaja tengah mengarungi perjalanan masa mencari jati diri sehingga faktor keteladanan dan kekonsistenan sistem nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Toenggoel P. Siagian (1985) menegaskan bahwa: "Masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi dalam masyarakat. Justru dalam periode remaja diperlukan norma dan pegangan yang jelas dan sederhana." Kurangnya keteladanan sebagai faktor yang memengaruhi perkembangan hubungan sosial remaja diperkuat oleh pendapat Soetjipto Wirosardjono(1991)yang mengatakan: "Bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik dengan berbagai dalih, yang sah maupun yang tak terelakkan". Dengan demikian, iklim kehidupan masyarakat memberikan urutan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja. Apalagi, remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat agar tetap selalu merasa dipandang trendy.

I.         PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM PERKEMBANG DAN SOSIAL
Masa kanak-kanak merupakan masa mempelajari sikap dasar sosial, seperti sikap terhadap agama, kelompok sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Sikap ini bisa berubah di kemudian hari karena faktor pengalaman. Pada masa kanak-kanak, sikap sosial dasar tersebut belum banyak dimiliki atau masih sangat sedikit. Tetapi setelah anak mencapai umur sekitar 13 tahun dan banyak bersosialisasi pada masyarakat, sikap dasar tadi menjadi semakin lengkap yang diperoleh dari lingkungan pergaulannya. Misalnya pergaulan dengan guru, teman sebaya, dan orang dewasa lainnya di masyarakat. Dengan semakin lengkapnya sikap sosial dasar ini, anak menjadi semakin tahu tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari.
Perbedaan lingkungan dapat menimbulkan perbedaan sikap sosial pada individu. Secara psikologis, sikap ini dapat dipelajari dengan tiga cara, yaitu
1.      meniru orang yang lebih berprestasi dalam bidang tertentu,
2.      mengombinasikan pengalaman, dan
3.      pengalaman khusus dengan emosional yang mendalam.

J.    UPAYA PENGEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL REMAJA DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDlDIKAN
Masa remaja merupakan fase yang sangat potensial bagi tumbuh dan berkembangnya aspek fisik maupun psikis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Mereka menganggap dirinya sudah bukan anak-anak lagi, tetapi orang-orang di sekelilingnya masih menganggap mereka belum dewasa. Sering kali remaja ingin bertindak sebagaimana orang dewasa. Akan tetapi, perilaku mereka sering kali masih bersifat impulsif dan belum menunjukkan kedewasaan. Disebabkan dorongan yang kuat ingin menemukan dan menunjukkan jati dirinya, remaja sering kali ingin melepaskan diri dari orang tuanya dan mengarahkan perhatian kepada lingkungan di luar keluarganya dan cenderung lebih senang bergabung dengan teman sebaya.
Dalam mencari jati diri melalui lingkungannya, remaja cenderung berupaya menemukan tokoh identifikasi dari lingkungan jenis kelamin yang sama tetapi yang memiliki usia sedikit lebih tua. Jika telah menemukan tokoh identifikasinya. tokoh ini cenderung lebih diikuti dan bahkan lebih sering dituruti nasihatnya daripada orang tuanya. Kelompok teman sebaya memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku kelompok teman sebayanya. Remaja akan merasa sangat menderita manakala suatu saat tidak diterima atau bahkan diasingkan oleh kelompok teman sebayanya. Penderitaannya akan lebih mendalam daripada tidak diterima oleh keluarganya sendiri. Kohesivitas kelompok sangat kuat dan toleransi antaranggota kelompok sangat tinggi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan manakala suatu saat salah seorang anggota kelompoknya terluka oleh kelompok lain maka demi solidaritas dan kohesivitas kelompoknya, mereka segera membelanya. Di sinilah tawuran antar pelajar sering terjadi yang disebabkan oleh upaya mewujudkan kohesivitas dan toleransi terhadap anggota kelompoknya.
Melihat masa remaja sangat potensial dan dapat berkembang ke arah positif maupun negatif maka intervensi edukatif dalam bentuk pendidikan, bimbingan, maupun pendampingan sangat diperlukan untuk mengarahkan perkembangan potensi remaja tersebut agar berkembang ke arah positif dan produktif. Intervensi edukatif harus sejalan dan seimbang, baik dari pihak keluarga/orang tua, sekolah, maupun masyarakat. Kerja sama yang baik antara ketiga komponen ini harus dijalin sebaik-baiknya agar secara simultan dapat mencegah remaja berkembang ke arah negatif dan mendorong remaja berkembang ke arah positif dan produktif.
Melakukan intervensi pendidikan terhadap remaja di zaman modern sekarang ini jauh lebih sukar dibandingkan dengan zaman dahulu. Ini disebabkan situasi kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan pada saat ini seolah-olah telah menjadi bagian yang mapan dari kehidupan masyarakat, sedikit demi sedikit akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena digantikan oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diperkirakan akan semakin kompleks.
Kecenderungan dewasa ini yang ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan banyak pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula bahwa manusia akan semakin didesak ke arah kehidupan yang sangat kompetitif. Andersen (1993: 718) memprediksikan situasi kehidupan semacam itu dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi baru tanpa dapat menyeleksi bagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai. Hal ini disebabkan tata nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai baru yang belum banyak dipahami.
Situasi kehidupan semacam itu memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika kehidupan remaja. Apalagi remaja secara psikologis berada pada masa topan badai dan sedang mencari jati diri (Hurlock, 1980). Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah tampak pada berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini antara lain perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak kriminal (Inke Maris, 1993: 3).
Dalam konteks proses belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi (Soewandi, 1993: 186), kebiasaan belajar yang kurang baik, yaitu tidak tahan lama dan baru belajar setelah menjelang ujian (Lutfi, 1992: 102), membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal ujian (Engkoswara, 1987: 13).
Problem remaja di atas merupakan perilaku-perilaku reaktif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang diperkirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan. Menurut Tilaar (1987: 2), tantangan kompleksitas masa depan memberikan dua alternatif, yaitu pasrah kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi masa depan akan menentukan pilihannya pada alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapkan remaja bagi peranannya di masa depan agar kelak menjadi manusia berkualitas sebagaimana sosok manusia ideal yang diamanahkan melalui UUSPN Tahun 1989.
Pentingnya ikhtiar mempersiapkan remaja bagi masa depannya, di samping mereka tengah mencari jati diri, karena mereka juga tengah berada pada tahap perkembangan yang amat potensial. Perkembangan kognitifnya, menurut teori perkembangan kognitif dari Piaget, telah mencapai tahap puncak perkembangan kognitif. Masa munculnya kemampuan berpikir sistematis dalam menghadapi persoalan-persoalan abstrak dan hipotetis telah mencapai tahap operasional formal (Bybee & Sund, 1982). Perkembangan moralnya tengah berada pada tingkatan konvensional, yaitu suatu tingkatan yang ditandai dengan adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam masyarakat perlu dijadikan acuan dalam hidupnya, menyadari kewajibannya melaksanakan norma-norma itu, dan mempertahankan perlu adanya norma (Kohlberg, 1984). Perkembangan fisiknya juga tengah berada pada masa perkembangan fisik yang sangat pesat (Siti Rahayu Haditono, 1986).
Melihat potensi remaja itu, menjadi penting dan sangat menguntungkan manakala ikhtiar pengembangannya difokuskan pada aspek-aspek positif remaja daripada lebih menyoroti sisi negatifnya. Sebab, meskipun ada remaja yang menunjukkan perilaku negatif, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari sekian banyaknya remaja yang ada, hanya kurang 1% dari jumlah remaja Indonesia.
Kegamangan terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh kebudayaan modern menimbulkan kelompok remaja haus akan perlindungan mental emosional. Ini memberikan implikasi imperatif perlunya pendampingan dalam memilah dan memilih nilai yang akan dijadikan pegangan hidup. Jika tidak, boleh jadi pada suatu saat, remaja jatuh ke dalam kegiatan yang negatif seperti narkotika, minuman keras, penyalahgunaan obat, dan sejenisnya yang dianggap dapat membebaskan diri dari kebingungan, kegamangan, serta ketegangan jiwanya.
Dorongan yang kuat pada remaja untuk melepaskan diri dari orang tua dan ditunjang oleh kohesivitas dan solidaritas yang kuat terhadap kelompok teman sebayanya, sering kali remaja membentuk apa yang dikenal dengan istilah geng. Mereka beranggapan bahwa dengan membentuk dan masuk sebagai anggota geng akan merasa kuat dan merasa aman karena anggota gengnya pasti akan melindungi dan membela dirinya manakala menghadapi sesuatu yang membahayakan dirinya. Akibatnya, dengan terbentuknya geng dan telah diakuinya sebagai anggota geng mereka menjadi lebih berani mengambil risiko karena didorong kebutuhan untuk diakui dan dikagumi.
Sebagaimana telah ditekankan terdahulu bahwa yang lebih penting bagi orang tua maupun pendidik lainnya adalah harus lebih sanggup melihat potensi dan segi-segi positif lain pada remaja. Sebab, segi-segi negatif itu sebenarnya hanya merupakan suatu out growth atau suatu akibat wajar dari masa pertumbuhan dan perkembangan yang demikian pesatnya sehingga mereka sendiri kurang mampu mengendalikannya. Padahal hati kecil mereka sendiri tidak menghendakinya.
Remaja yang juga merupakan makhluk sosial sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengontrol, menguasai diri, serta mendisiplinkan dirinya. Remaja sesungguhnya mampu membatasi diri dalam menggunakan kebebasan yang diberikan kepada mereka. Perlu ditekankan di sini bahwa berhasil tidaknya kerja sama antara remaja dan orang tua merupakan permasalahan kemampuan membangun hubungan manusiawi. Untuk itu, orang tua hendaknya mampu memperlihatkan dirinya sebagai teladan atau menjadi contoh kepribadian yang hidup atas nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Dengan demikian, remaja akan memperoleh materi pelajaran yang sangat berharga dan akan belajar dari apa saja yang mereka saksikan, alami, dan hayati sehari-hari dari kepribadian orang tuanya. Jika orang tua menginginkan anak remajanya menjunjung tinggi asas-asas demokrasi, orang tua hendaknya mengembangkan dan menjunjung tinggi asas demokrasi dalam memperlakukan atau mendidik anak remajanya.
Orang tua hendaknya mengakui kedewasaan remaja dengan jalan memberikan kebebasan terbimbing untuk mengambil keputusan dan tanggung jawab sendiri. Dalam masalah seks, misalnya, orang tua harus mengemukakan secara hati-hati dan menjaga kerahasiaan remaja (confidential). Orang tua harus mampu menasihati remaja untuk belajar menguasai diri karena perkembangan seksual tidak linier dan bersamaan munculnya atau perkembangannya dengan kemampuan ekonomis dan kesiapan untuk menerima tugas sebagai orang tua.
Iklim kehidupan keluarga yang memberikan kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak akan dapat membantu anak memiliki kebebasan psikologis untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan cara demikian, remaja akan senantiasa merasa bahwa dirinya dihargai oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya. Dalam lingkungan keluarga, harga diri remaja akan berkembang dengan baik karena merasa dihargai, diterima, dicintai, dan dihormati sebagai manusia.
Dalam konteks bimbingan orang tua terhadap remaja, Hoffman (1989) mengemukakan tiga jenis pola asuh orang tua, yaitu
1.  pola asuh bina kasih (induction),
2.  poia asuh unjuk kuasa (power assertion), dan
3.  pola asuh lepas kasih  (love withdrawal).

Pola asuh bina kasih adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anaknya. Pola asuh unjuk kuasa adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya. Adapun pola asuh lepas kasih adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakala.
Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, termasuk di dalamnya pengembangan hubungan sosial, pola asuh yang disarankan oleh Hoffman (1989) untuk diterapkan adalah pola asuh bina kasih (induction). Artinya, setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Dengan cara demikian, remaja akan dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak terhadap keputusan atau perlakuan orang tuanya.
Lingkungan pendidikan berikutnya, setelah keluarga, adalah lingkungan sekolah Sekolah sebagai lembaga formal yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya tidak kecil peranannya dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja. Dalam konteks ini pun, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh, perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Sebab, remaja sudah bukan anak-anak lagi yang senantiasa memiliki sikap mengagumi gurunya sebagai tokoh yang harus dipatuhi melebihi siapa pun. Untuk itu, guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang demokratis. Guru harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup menarik minat anak, sebab tidak jarang anak menganggap pelajaran yang diberikan oleh guru kepadanya tidak bermanfaat. Tugas guru tidak hanya semata-mata mengajar, melainkan juga mendidik. Artinya. selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina para peserta didik menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab. Dengan demikian, perkembangan hubungan sosial remaja akan dapat berkembang secara maksimal.
Untuk dapat membantu perkembangan kepribadian peserta didik secara maksimal, termasuk di dalamnya perkembangan hubungan sosial, ada lima kompetensi yang seharusnya dipenuhi oleh seorang guru, yaitu
1.   kompetensi profesional (professional competency),
2.   kompetensi pribadi (jiersonal competency),
3.   kompetensi moralitas (morality competency),
4.   kompetensi religiusitas (religiousity competency), dan
5.   kompetensi formal (formal competency).

Tiga kompetensi, yaitu kompetensi pribadi, moralitas, dan religiusitas merupakan kompetensi yang sangat penting untuk membantu perkembangan hubungan sosial remaja di sekolah. Kompetensi pribadi mengandung makna bahwa seorang guru harus memiliki integritas pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kepribadian yang utuh. Kompetensi moralitas mengandung makna bahwa seorang guru bukan hanya dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, melainkan sanggup berbuat menurut norma-norma kesusilaan. Adapun dengan kompetensi religiusitas mengandung makna bahwa seorang guru harus menganut agama yang diyakini dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Seorang guru harus dapat melihat dengan jelas dan manusiawi bahwa setiap muridnya adalah manusia yang bermartabat yang harus dihargai sepenuhnya. Dengan saling menghargai dapat dibangun suatu landasan yang mengandung rasa pengertian, saling percaya, saling menghormati, dan mampu menjauhkan dari berburuk sangka dalam mengembangkan kemampuan hubungan sosial murid yang sedang berada pada masa remaja.
Strategi pembelajaran yang demokratis merupakan alternatif yang sangat bermanfaat bagi guru dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja. Atas dasar prinsip demokrasi disusun strategi pembelajaran dan model bimbingan bagi anak-anak di kelas, baik secara individual maupun kelompok. Kebebasan dalam kerangka demokratisasi pendidikan bukan berarti kebebasan seluas-luasnya melainkan kebebasan yang disertai rasa tanggung jawab secara penuh. Pemahaman bahwa kebebasan seseorang harus didudukkan dalam kerangka orang lain yang juga memiliki kebebasan sehingga kebebasan yang dikembangkan tanpa dibatasi tanggung jawab akan berbenturan dengan kebebasan orang lain, bahkan dapat melanggar atau menghalangi kebebasan orang lain. Pemahaman seperti ini harus senantiasa dikembangkan kepada setiap peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung.
Lingkungan ketiga yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan hubungan sosial remaja adalah lingkungan masyarakat. Berkenaan dengan upaya pengembangan hubungan sosial remaja, peran masyarakat justru sangat besar seiring dengan perkembangan psikologis masa remaja. Variasi perkembangan individu terjadi dalam segala macam hubungan dan pengalaman, termasuk variasi kebudayaan dan sosial yang ada dalam masyarakat. Sistem kebudayaan, lapisan sosial, kelompok agama, dan sebagainya memiliki nilai-nilai tersendiri yang sudah tentu sangat berpengaruh terhadap para anggotanya. Sebagai contoh, suatu sistem kebudayaan yang sangat mementingkan kejujuran dan hormat kepada orang tua, akan sangat keberatan atau bahkan menjadi pukulan terhadap kebudayaan masyarakatnya jika menemukan remaja sebagai anggota masyarakatnya senang membohongi orang lain, mencuri, mencopet, dan sejenisnya. Tugas utama masyarakat adalah menekan seminimal mungkin tingkah laku atau sikap negatif para remaja dan mengembangkan tingkah laku positif, termasuk di dalamnya pengembangan hubungan sosial remaja. Para pemimpin dalam masyarakat, seperti pemimpin organisasi politik, agama, dan organisasi lainnya memikul tugas dan tanggung jawab dalam upaya pengembangan hubungan sosial remaja agar tidak mengarah kepada hubungan sosial yang bersifat negatif dan destruktif.
Hoffman mengemukakan bahwa ada tiga pola dalam membimbing perkembangan hubungan sosial remaja, yaitu pola asuh bina kasih (induction), pola asuh lepas kasih (love withdrawal), dan pola asuh unjuk kuasa (power assertion).
Dengan pola asuh bina kasih berarti segala keputusan dan perlakuan terhadap remaja senantiasa dibarengi dengan alasan rasional. Dengan pola asuh lepas kasih berarti kasih sayang yang diberikan kepada remaja akan ditarik untuk sementara waktu ketika remaja berperilaku kurang baik dan baru dikembalikan lagi kasih sayang itu ketika remaja sudah menunjukkan perilaku yang baik. Dengan pola asuh unjuk kuasa berarti memaksakan segala sesuatu untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh remaja. Berdasarkan penelitian mendalam yang dilakukan oleh Hoffman (1989), Like (1993), dan Sarijannati (1999) menunjukkan bahwa pola asuh bina kasih adalah yang paling efektif untuk membimbing perkembangan hubungan sosial remaja.
  
DAFTAR PUSTAKA

 Ali, Mohammad dkk. 2004. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar